Batik Detector, Media Pengenalan Motif Batik

Sejak 2 Oktober 2009, Batik Indonesia telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sejarah perkembangan batik sendiri sudah dimulai sejak zaman kerajaan dimana kala itu batik hanya mempunyai motif dan warna yang tidka banyak bahkan corak-corak tertentu hanya untuk kalangan terbatas saja. Namun, kini, batik kian bebas dikreasikan tanpa mesti tunduk pada aturan pemakaian. Biasanya, tiap motif mengandung makna tersendiri. Motif batik bisa merupakan flora atau fauna, cerita kehidupan maupun abstrak. Sayangnya, generasi muda Indonesia banyak yang tidak mengenali keanekaragaman motif batik yang mereka kenakan. 

Berangkat dari situ, Hardika Dwi Hermawan membuat ‘Batik Detector’, yakni sebuah aplikasi untuk mengenali anekaragam motif batik Indonesia. Ia menjelaskan awal mula pembuatan aplikasi ini “Ketika masih kuliah S1 di Program Studi Pendidikan Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta dulu, saya melihat banyak sekali orang memakai batik, termasuk saya dan teman-teman. Kemudian saya bertanya kepada diri sendiri, sebenarnya batik yang saya kenakan ini batik apa? Ada maknanya tidak ya? Setelah saya membaca, ternyata batik memiliki motif yang beragam dan memiliki makna mendalam terkait kehidupan manusia.”

Hardika lalu melaksanakan riset dalam skala terbatas ke sejumlah orang dimana hasilnya hampir 90% orang tidak tahu batik apa yang mereka pakai, terlebih maknanya. Berangkat dari hal tersebut, Hardika mulai mengenalkan batik ke generasi muda dan menemukan solusi apa yang sekiranya bagus agar generasi muda tertarik dalam memahami batik, tidak hanya asal memakai saja. 

“Setelah melalui proses riset, berkunjung ke berbagai museum, bertemu dengan pemerhati budaya, kemudian mulai saya dan teman-teman mengembangkan Batik Detector,” ujar Hardika.

Batik Detector merupakan aplikasi berbasis android dan menggunakan teknologi Augmented Reality (AR), yang menggabungkan dunia nyata dan virtual dalam satu waktu. Konsep kerjanya sama seperti tampilan pada perut Teletubbies, di mana kita dapat melihat penjelasan melalui perutnya. “Aplikasi ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi motif batik yang orang kenakan, kemudian menampilkan obyek 3D dan 2D serta video penjelasan mengenai batik yang dikenakan itu dengan begitu akan sangat menarik generasi muda untuk belajar,” terang Hardika.

Awal mula pengembangan Batik Detector adalah akhir tahun 2014. Saat itu, aplikasi masih berbasis komputer dan hanya mampu mendeteksi dua motif saja. Tahap awal tersebut, Hardika dibantu oleh Yuanda Putra Perdana dan Dinar Uji Setyaningrum, ketiganya adalah Mahasiswa di UNY kala itu. Kemudian mereka coba ajukan kompetisi FILM (Festival Ilmiah Mahasiswa) di UNS, dan akhirnya mendapatkan juara 1 tingkat nasional.

 “Setelah itu, saya kembangkan lebih mendalam aplikasi berbasis android dengan motif yang lebih banyak dan sistem yang lebih baik sekaligus sebagai proyek tugas akhir saya pada tahun 2015 di bawah bimbingan, Dr. Fatchul Arifin, dosen Pendidikan Teknik Informatika Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta, dengan menjadikan siswa-siswi Sekolah Indonesia Singapore sebagai sample penelitian.”

Pengembangan aplikasi Batik Detector telah melewati banyak tahap dengan melibatkan kelompok yang berbeda di setiap tahapnya. Di akhir tahun 2017, dengan pengembangan lebih lanjut di bagian interface, Batik Detector sempat berpartisipasi dalam event Internasional di Malaysia. Hardika bersama tim dari Yogyakarta, yakni Dwi Pamuji Ismoyo, Seivian Ginanta, Purwatmaja Listiadhi Karana, dan Kiki Ardinal juga mendapat award di event internasional tersebut. “Jika berbicara masalah tim, saya memiliki banyak tim yang berbeda di setiap tahapnya dan mereka adalah orang-orang luar biasa yang berkontribusi besar dalam pengembangan program ini.” kata Hardika.