“Astutik” Inovasi Kompor Batik Listrik

Hilangnya subsidi minyak tanah membuat para pengrajin batik menghadapi masalah baru, dari makin melambungnya harga hingga kelangkaan. Beberapa pengerajin batik kemudian beralih menggunakan kompor listrik. Namun, pada kenyataannya, energi listrik yang dibutuhkan alat ini untuk beroperasi tergolong besar. Bahkan, terkadang malam cair yang berada dicanting sering menetes ke kompor yang mengakibatkan konsleting dan berimbas pada kecelakaan kerja.
Berdasarkan kondisi diatas, sekelompok mahasiswa Fakultas Teknik UNY yang terdiri dari Andreas E.A Wijaya, Aris Setyawan, Rizky Hadi Oktiavenny dari Jurusan Pendidikan Teknik Elektro dan Nova Suparmanto dari Jurusan Pendidikan Teknik Informatika yang tergabung dalam Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan ini, menciptakan sebuah terobosan baru yaitu kompor batik listrik otomatis yang dinamakan Auto-Electric Stove for Batik “Astutik”.
Karya inovasi “Astutik” ini telah memperoleh pendanaan dari Recognition and Mentoring Program- Institut Pertanian Bogor (RAMP-IPB), penghargaan dan uang pembinaan sebagai Best Project cluster Green Technology dalam International Youth Green Summit (IYGS) oleh UI dan Dompet Dhuafa, serta DIKTI dalam program PKM-Kewirausahaan (PKMK) tahun 2013 dibawah bimbingan Dosen Pendidikan Teknik Elektro FT UNY, Herlambang M.Cs.
Tim ini mengamati bahwa beberapa pembatik tidak mau menggunakan kompor batik listrik karena beberapa alasan, “salah satunya takut kesetrum karena alat yang ada tidak dilengkapi dengan sistem pengaman”, ungkap Rizky salah satu anggota tim. “Kompor batik listrik, saat ini, juga belum dilengkapi dengan pengatur suhu otomatis untuk mencegah terjadinya panas lebih, sehingga hasil pembatikan menjadi kurang bagus”, ungkapnya.
“Selain itu, lilin malam cepat menguap yang mana bisa membahayakan pengrajin itu sendiri dan alat yang ada juga membutuhkan daya besar karena elemen pemanas pada kompor”, tunyasnya.
Sedangkan kompor listrik yang dibikin tim ini merupakan sebuah kompor listrik ramah lingkungan dengan memanfaatkan sistem PID (Proportional Integral Derivative) Controller untuk mengatur panas pada elemen pemanas sehingga memperoleh suhu yang tepat untuk malam batik.
“Disamping itu, keunggulan dari karya kami ini adalah kemampuan mendeteksi jenis malam yang dipakai sehingga pada suhu tertentu dapat mengatur panas cairan agar tetap stabil. Oleh karenanya, kompor ini membutuhkan input berupa jenis malam, meliputi malam tembokan, klowong, dan paraffin”, jelas mahasiswi yang pernah presentasi di Tokyo dan Australia ini.
“Dengan adanya inovasi tersebut pada proses pemanasan malam (lilin), atau setelah malam mencair, pengrajin tidak perlu mengecilkan pemanas secara manual”, terangya.
“Hasil pengujian diperoleh data bahwa kompor Astutik kami lebih efisien sebesar 63% dibandingkan kompor batik listrik yang lain dan sebesar 95% dibandingkan dengan kompor berbahan bakar minyak tanah”, imbuhnya.
Sementara itu, Nova Suparmanto melanjutkan bahwa inovasi kompor listrik “Astutik” oleh Tim PKM-K UNY dengan nama usaha Spirit Groups ini telah dipamerkan dalam Pameran Kreasi Anak Bangsa, Dies Natalis UNY di Auditorium UNY dan sedang dalam tahap pengajuan paten.
Komponen utama dari produk ini adalah: Tungku Kompor, ATMega8, Sensor LM35, PCB & Komponen, Tombol, Elemen Pemanas, dan Lampu LED.
Gambaran proses produksinya yaitu: Perencanaan bahan baku, pencetakan rangkaian, perakitan komponen, pengujian alat (pengecekan kesalahan), perakitan alat dengan bodi kompor, finishing (perapian), packaging (kardus coklat),
Langkah produksi diawali dengan pembuatan1 buah kompor yang telah teruji, kemudian telah diproduksi massal dengan cara pemberdayaan pemuda kampung di daerah Kasihan, Bantul. “Saat ini kami sedang melakukan penawaran dan pemasaran produk, salah satunya melalui media online berupa website yang dapat diakses melalui http://spirit-groups.com/astutik/ atau FansPage di Facebook dengan alamat https://www.facebook.com/SpiritGroups, tambah Nova.
Produk “Astutik” ini merupakan jenis produk baru yang tentunya belum banyak diketahui oleh masyarakat maka tantangan utamanya adalah dalam proses edukasi masyarakat dan pemasaran. “Kami berharap proses produksi berjalan dengan lancar dan dapat memberikan kebermanfaatan bagi perekonomian daerah, serta tentu saja meningkatkan kecintaan terhadap batik ditetapkan UNESCO Sebagai Warisan Budaya Indonesia”, tuntasnya. (nova)