Mahasiswa Busana FT UNY Teliti Kulit Kayu Pelawan sebagai Pewarna Tekstil Alami

Indonesia merupakan negara yang potensial dalam penyediaan dan pengelolaan bahan alam, terutama pada bidang tekstil. Namun penggunaan tumbuhan sebagai sumber daya alam belum dimanfaatkan secara maksimal seperti dalam bidang tekstil dan batik dimana sebagian besar pengrajin lebih memilih menggunakan pewarna sintetis yang berdampak buruk bagi lingkungan. Sejatinya banyak tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan zat warna terlebih warna yang dihasilkan memiliki ciri khas tersendiri dan memiliki nilai jual yang tinggi dibidang fashion.
Melihat fakta tersebut, Dewi Astari, mahasiswa Pendidikan Teknik Busana Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta melakukan penelitian sebagai skripsiny dibawah bimbingan Dr. Widihastuti  guna memperoleh tumbuhan yang dapat dijadikan zat warna baru untuk mendapatkan teknik dan cara yang tepat dalam menghasilkan warna yang diinginkan. “Salah satu tumbuhan di Indonesia yang berpotensi untuk dijadikan zat warna alam untuk tekstil yaitu pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.),” ujar Dewi.
Dewi menjelaskan bahwa pohon pelawan merupakan jenis pohon berkayu yang masih satu family dengan jambu (Myrtaceae), jenis pohon ini dulu banyak sekali tumbuh di hutan-hutan Bangka Belitung terutama di daerah yang rawa-rawa yang lembab, salah satunya di kawasan Hutan Lindung Pelawan di daerah Namang, Bangka Tengah.
“Bagian yang dimanfaatkan sebagai zat warna alam adalah bagian kulit terluar dari pohon pelawan yang mana biasanya akan mengelupas dengan sendirinya sedangkan bahan tekstil yang digunakan yaitu katun mori, sutera, dan satin,” bebr Dewi.
“Ketiga bahan tersebut dipilih karena jenis katun dan bahan sutera merupakan bahan dari serat tumbuhan dan hewan yang terkenal paling mudah menyerap zat warna alam serta penggunaan bahan satin yang merupakan bahan tekstil dengan serat buatan atau sintetis, dengan begitu dapat terlihat seberapa baik zat warna dari kulit pohon pelawan yang terserap oleh ketiga jenis bahan tekstil ini,” lanjutnya
“Bahan fiksator yang digunakan yaitu tawas, tunjung dan kapur tohor, karena ketiga bahan fiksator dan pembangkit warna ini merupakan bahan yang tergolong ramah lingkungan dan mudah didapat,” ungkanya.
Dari hasil penelitiannya, Dewi menyimpulkan bahwa  kualitas hasil warna pencelupan ekstrak kulit pohon pelawan pada katun, sutera dan satin menggunakan fiksator tawas, tunjung dan kapur ditinjau dari pencucian sabun didapat hasil rata-rata dengan kategori baik, serta ditinjau dari panas penyetrikaan didapat hasil rata-rata dengan kategori baik pula.
“Kemudian warna yang dihasilkan dari pencelupan ekstrak kulit pohon Pelawan dengan fiksator tawas menghasilkan warna dark salmon pink pada katun, wheat light brown pada sutera dan olive pada satin,” terang Dewi.
“Sedangkan fiksator tunjung menghasilkan warna dark grey pada katun, dark brown pada sutera dan grey pada satin, dan fiksator kapur tohor menghasilkan muddy waters brown pada katun, golden sundance pada sutera dan canary yellow pada satin,” tutup Dewi.